KURIKULUM 2013 merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Hal itu dilakukan semata-mata untuk perbaikan sistem
pendidikan. Perubahan tersebut dilakukan karena KTSP dianggap belum
dapat mencapai harapan yang diinginkan, sehingga perlu adanya
revitalisasi kurikulum. Usaha tersebut mesti dilakukan demi menciptakan
generasi masa depan berkarakter, yang memahami jati diri bangsanya dan
menciptakan anak yang unggul, mampu bersaing di dunia internasional.
Hal lain yang ikut melatarbelakangi lahirnya Kurikulum 2013 adalah standar proses pembelajaran yang belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci, sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Ditambah pula belum peka dan tanggapnya kurikulum yang ada terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum. Hal itu menyebabkan hasil pembelajaran berbagai mata pelajaran selama ini pada umumnya didapati masih kurang memuaskan. Pembelajaran yang hanya sekadar berorientasi kepada ranah kognitif semata, kurang mengembangkan aspek imtak, intelektual, emosional, sosial, dan budaya.
Kebanyakan kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru. Biasanya guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk berceramah. Sebaliknya, kurang memberdayakan siswa agar aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Guru lebih mendominasi atau menjadi pusat dalam proses pembelajaran. Selain itu, proses pembelajaran yang selama ini terjadi pada umumnya lebih bersifat individual dan kompetitif. Akhirnya, jawaban siswa yang relatif kurang berkualitas cenderung dianggap sebagai kemampuan yang maksimal dalam pembelajaran tersebut.
Pembelajaran secara individual dan kompetitif bukanlah pembelajaran yang tepat pada zaman sekarang, disebabkan beberapa faktor: Pertama, pengetahuan sekadar ditransfer dari guru kepada siswa; Kedua, siswa pada umumnya bersifat pasif; Ketiga, guru menjadi satu-satunya sumber yang utama; Keempat, proses dan hasil belajar ditekankan pada kemajuan individu dan bersifat kompetitif; Kelima, di dalam kelas guru merupakan satu-satunya orang yang mengajar; Keenam, suasana kelas cenderung sepi, pasif, dan terisolasi, dan; Ketujuh, guru menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran.
Terkait dengan hal itu, Slavin (1995:3) juga menengarai bahwa belajar individual dan kompetitif memiliki beberapa kelemahan, yaitu; kompetisi siswa kadang-kadang tidak sehat. Sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban tersebut salah; siswa yang berkemampuan rendah akan kurang termotivasi; siswa berkemampuan sedang akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal; dan dapat membuat frustasi siswa lainnya.
Berbasis kompetensi
Akan halnya Kurikulum 2013, ia berbasis kompetensi; berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat global, memiliki minat luas mengenai hidup, memiliki kesiapan untuk bekerja, dan memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya. Untuk itu, satu solusi memperbaiki kelemahan pembelajaran untuk meyahuti tantangan Kurikulum 2013, adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Cooperative Learning identik dengan belajar berkelompok atau belajar kooperatif, yang tentu bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Sebagai guru dan mungkin sebagai siswa, kita pernah menggunakannya atau mengalaminya. Sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4-5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru. Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa. Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab mereka terhadap kontribusi dalam usaha mencapai tujuan dan bantuan untuk anggota yang membutuhkan.
Pembelajaran model kooperatif memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: Pertama, ilmu dapat diperoleh secara bersama-sama dalam kelompok; Kedua, setiap anggota kelompok belajar secara aktif; Ketiga, guru bisa lebih aktif dengan peran sebagai model, sumber, konsultan, dan fasilitator; Keempat, proses dan hasil pembelajaran ditekankan pada kerja sama dan kebersamaan; Kelima, setiap siswa berperan sebagai pengajar; Keenam, situasi pembelajaran menyenangkan, dan; Ketujuh, setiap siswa bertanggung jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan kemajuan kelompoknya.
Keunggulan lainnya dari Pembelajaran model kooperatif adalah karena. Siswa akan memiliki tanggung jawab secara individual terhadap kemajuan belajarnya dan kemajuan kelompok. Anggota kelompoknya akan bersifat hoterogen, yakni terdiri atas berbagai ras, etnis, agama, kemampuan, dan jenis kelamin. Ketua kelompoknya dapat berganti sesuai dengan kesepakatan kelompok, anggota kelompok saling memberi tanggapan. Pembelajaran dalam kelompok lebih berorientasi kepada proses. Guru berperan aktif mengarahkan siswa untuk menciptakan kelancaran proses untuk belajar keterampilan. Selain itu yang teramat penting adalah siswa bekerja sama dalam kelompok, saling membantu, dan mengalami secara langsung proses kerja sama dalam belajar.
Banyak keuntungan/kelebihan yang dapat diperoleh dari belajar kooperatif, di antaranya: Pertama, dapat meningkatkan kemajuan belajar siswa, dan hasil belajar yang dicapai lebih tinggi dibandingkan dengan belajar individual dan kompetitif; Kedua, dapat meningkatkan daya pikir, memperoleh kedalaman tingkat pengetahuan, dan menciptakan kemampuan berpikir kritis; Ketiga, mengembangkan sikap positif terhadap pelajaran, sekolah, dan pembelajaran secara umum; Keempat, lebih mementingkan tugas dan dapat menghilangkan sikap suka mengganggu teman; Kelima, dapat meningkatkan motivasi belajar;
Keenam, mendorong siswa untuk memperhatikan orang lain; Ketujuh, dapat meningkatkan kemampuan bekerja dan menyelesaikan masalah secara bersama; Kedelapan, dapat mengembangkan rasa sosial; Kesembilan, menumbuhkan rasa penghargaan terhadap gaya belajar teman; Kesepuluh, dapat menumbuhkan percaya diri dan rendah hati; Kesebelas, memberikan kesehatan jiwa, penyesuaian diri dan ketentraman belajar, dan; Keduabelas, dapat meningkatkan keterampilan sosial dan hubungan antarpribadi (Eanes, 1997:135).
Model-model pembelajaran yang termasuk dalam kelompok belajar kooperatif di antaranya adalah penyelidikan kelompok, Jigsaw, Student Teams Achievement Divisions (STAD), Skrip kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah (problem based introduction), mencari pasangan (make a macth), debat, grup investigasi, kooperatif terpadu membaca dan menulis, dan lain-lain.
Model-model belajar jenis ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya berfokus pada penyelidikan terhadap suatu topik atau konsep, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk membentuk atau memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bermakna mengenai topik yang sedang dipelajari, efektif membantu siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dengan latar belakang berbeda baik dari segi ras, etnis, kemampuan, jenis kelamin, maupun status sosial, dan menyediakan suatu konteks sehingga siswa dapat belajar mengenai dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, maupun kebudayaannya (Eggen & Kauchak, 1998:304).
Belajar kooperatif diyakini dapat meningkatkan kemampuan siswa mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya dalam mengapresiasi serta mengaitkan materi pelajaran dengan imtak, dan nilai-nilai sebagai upaya menyahuti kurikulum 2006 yang berbasis kompentensi dan kontekstual. Pembelajaran yang seperti ini dirasakan menarik, bervariasi, dan menyenangkan, serta bermakna bagi anak didik.
Hal lain yang ikut melatarbelakangi lahirnya Kurikulum 2013 adalah standar proses pembelajaran yang belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci, sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Ditambah pula belum peka dan tanggapnya kurikulum yang ada terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum. Hal itu menyebabkan hasil pembelajaran berbagai mata pelajaran selama ini pada umumnya didapati masih kurang memuaskan. Pembelajaran yang hanya sekadar berorientasi kepada ranah kognitif semata, kurang mengembangkan aspek imtak, intelektual, emosional, sosial, dan budaya.
Kebanyakan kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru. Biasanya guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk berceramah. Sebaliknya, kurang memberdayakan siswa agar aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Guru lebih mendominasi atau menjadi pusat dalam proses pembelajaran. Selain itu, proses pembelajaran yang selama ini terjadi pada umumnya lebih bersifat individual dan kompetitif. Akhirnya, jawaban siswa yang relatif kurang berkualitas cenderung dianggap sebagai kemampuan yang maksimal dalam pembelajaran tersebut.
Pembelajaran secara individual dan kompetitif bukanlah pembelajaran yang tepat pada zaman sekarang, disebabkan beberapa faktor: Pertama, pengetahuan sekadar ditransfer dari guru kepada siswa; Kedua, siswa pada umumnya bersifat pasif; Ketiga, guru menjadi satu-satunya sumber yang utama; Keempat, proses dan hasil belajar ditekankan pada kemajuan individu dan bersifat kompetitif; Kelima, di dalam kelas guru merupakan satu-satunya orang yang mengajar; Keenam, suasana kelas cenderung sepi, pasif, dan terisolasi, dan; Ketujuh, guru menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran.
Terkait dengan hal itu, Slavin (1995:3) juga menengarai bahwa belajar individual dan kompetitif memiliki beberapa kelemahan, yaitu; kompetisi siswa kadang-kadang tidak sehat. Sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban tersebut salah; siswa yang berkemampuan rendah akan kurang termotivasi; siswa berkemampuan sedang akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal; dan dapat membuat frustasi siswa lainnya.
Berbasis kompetensi
Akan halnya Kurikulum 2013, ia berbasis kompetensi; berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat global, memiliki minat luas mengenai hidup, memiliki kesiapan untuk bekerja, dan memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya. Untuk itu, satu solusi memperbaiki kelemahan pembelajaran untuk meyahuti tantangan Kurikulum 2013, adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Cooperative Learning identik dengan belajar berkelompok atau belajar kooperatif, yang tentu bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Sebagai guru dan mungkin sebagai siswa, kita pernah menggunakannya atau mengalaminya. Sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4-5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru. Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa. Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab mereka terhadap kontribusi dalam usaha mencapai tujuan dan bantuan untuk anggota yang membutuhkan.
Pembelajaran model kooperatif memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: Pertama, ilmu dapat diperoleh secara bersama-sama dalam kelompok; Kedua, setiap anggota kelompok belajar secara aktif; Ketiga, guru bisa lebih aktif dengan peran sebagai model, sumber, konsultan, dan fasilitator; Keempat, proses dan hasil pembelajaran ditekankan pada kerja sama dan kebersamaan; Kelima, setiap siswa berperan sebagai pengajar; Keenam, situasi pembelajaran menyenangkan, dan; Ketujuh, setiap siswa bertanggung jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan kemajuan kelompoknya.
Keunggulan lainnya dari Pembelajaran model kooperatif adalah karena. Siswa akan memiliki tanggung jawab secara individual terhadap kemajuan belajarnya dan kemajuan kelompok. Anggota kelompoknya akan bersifat hoterogen, yakni terdiri atas berbagai ras, etnis, agama, kemampuan, dan jenis kelamin. Ketua kelompoknya dapat berganti sesuai dengan kesepakatan kelompok, anggota kelompok saling memberi tanggapan. Pembelajaran dalam kelompok lebih berorientasi kepada proses. Guru berperan aktif mengarahkan siswa untuk menciptakan kelancaran proses untuk belajar keterampilan. Selain itu yang teramat penting adalah siswa bekerja sama dalam kelompok, saling membantu, dan mengalami secara langsung proses kerja sama dalam belajar.
Banyak keuntungan/kelebihan yang dapat diperoleh dari belajar kooperatif, di antaranya: Pertama, dapat meningkatkan kemajuan belajar siswa, dan hasil belajar yang dicapai lebih tinggi dibandingkan dengan belajar individual dan kompetitif; Kedua, dapat meningkatkan daya pikir, memperoleh kedalaman tingkat pengetahuan, dan menciptakan kemampuan berpikir kritis; Ketiga, mengembangkan sikap positif terhadap pelajaran, sekolah, dan pembelajaran secara umum; Keempat, lebih mementingkan tugas dan dapat menghilangkan sikap suka mengganggu teman; Kelima, dapat meningkatkan motivasi belajar;
Keenam, mendorong siswa untuk memperhatikan orang lain; Ketujuh, dapat meningkatkan kemampuan bekerja dan menyelesaikan masalah secara bersama; Kedelapan, dapat mengembangkan rasa sosial; Kesembilan, menumbuhkan rasa penghargaan terhadap gaya belajar teman; Kesepuluh, dapat menumbuhkan percaya diri dan rendah hati; Kesebelas, memberikan kesehatan jiwa, penyesuaian diri dan ketentraman belajar, dan; Keduabelas, dapat meningkatkan keterampilan sosial dan hubungan antarpribadi (Eanes, 1997:135).
Model-model pembelajaran yang termasuk dalam kelompok belajar kooperatif di antaranya adalah penyelidikan kelompok, Jigsaw, Student Teams Achievement Divisions (STAD), Skrip kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah (problem based introduction), mencari pasangan (make a macth), debat, grup investigasi, kooperatif terpadu membaca dan menulis, dan lain-lain.
Model-model belajar jenis ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya berfokus pada penyelidikan terhadap suatu topik atau konsep, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk membentuk atau memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bermakna mengenai topik yang sedang dipelajari, efektif membantu siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dengan latar belakang berbeda baik dari segi ras, etnis, kemampuan, jenis kelamin, maupun status sosial, dan menyediakan suatu konteks sehingga siswa dapat belajar mengenai dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, maupun kebudayaannya (Eggen & Kauchak, 1998:304).
Belajar kooperatif diyakini dapat meningkatkan kemampuan siswa mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya dalam mengapresiasi serta mengaitkan materi pelajaran dengan imtak, dan nilai-nilai sebagai upaya menyahuti kurikulum 2006 yang berbasis kompentensi dan kontekstual. Pembelajaran yang seperti ini dirasakan menarik, bervariasi, dan menyenangkan, serta bermakna bagi anak didik.