Siapa yang tak kenal novel Siti Nurbaya? Hampir dapat dipastikan setiap
orang yang pernah mengenyam pendidikan formal akan tahu dan familiar
dengan novel tersebut. Bahkan masyarakat juga mengetahui tokoh-tokohnya,
termasuk tokoh antagonis Datuk Maringgih. Tokoh Datuk Maringgih dalam
novel Siti Nurbaya digambarkan sebagai tokoh yang buruk, jahat, keji,
dan sebagainya. Ia dianggap sebagai rentenir yang menyusahkan banyak
orang dan juga predikat-predikat lain yang negatif terhadap Datuk
Maringgih tersebut. Bahkan, sampai novel tersebut diangkat ke layar
lebar pun, tokoh Datuk Maringgih tetap digambarkan sebagai tokoh
antagonis, yaitu tokoh yang cenderung dipersepsikan negatif oleh
sebagian besar orang. Pemahaman seperti itu telah berlangsung
bertahun-tahun mengendap dalam paradigma setiap orang. Akan tetapi,
seiring perkembangan teori sastra, paradigma tentang Datuk Maringgih
mulai bergeser. Justru dengan cara pandang yang baru, Datuk Maringgih
dianggap sebagai pahlawan karena pada akhir cerita Siti Nurbaya, Datuk
Maringgih berperang melawan kompeni Belanda/ penjajah dan tewas terbunuh
bersama saingan bebuyutannya, Samsul Bahri. Pada sisi lain, Samsul
Bahri dipersepsikan sebagai tokoh protagonis yaitu tokoh yang baik. Akan
tetapi, dengan paradigma baru, tokoh Samsul Bahri dianggap sebagai
pengkhianat karena di dalam cerita Siti Nurbaya, ia bergabung menjadi
anggota pasukan penjajah yang justru berhadapan dengan Datuk Maringgih
di medan pertempuran. Akhirnya, keduanya tewas di dalam pertempuran
tadi.
Perkembangan teori sastra telah mencapai pada tahap teori kontemporer dengan munculnya salah satu teori sastra yang disebut dekonstruksi. Dekonstruksi dipelopori oleh Jacques Derrida. Derrida muncul sebagai seorang pemikir karena ketekunannya membaca dan mempelajari berbagai bidang seperti sains, sosial, etik, politik, estetik, psikoanalisis dan sangat menguasai bidang ilmu sastra. Aliran dekonstruksi ini menurut sebagian besar pakar bidang sastra sangat cocok diaplikasikan pada novel-novel kontemporer. Pada skala dunia sastra di Indonesia, novel-novel kontemporer tersebut seperti karya-karya Danarto. Apabila kita membaca karya-karya Danarto seperti kumpulan cerpen Gergasi kita juga dapat mendekonstruksi unsur intrinsik tidak hanya pada persoalan tokoh. Cerpen-cerpen Danarto dapat juga didekonstruksi terutama menyangkut latar cerita yang tiba-tiba saja berganti dan seolah tidak dapat dirasionalisasi begitu saja. Memang dibutuhkan wawasan lebih apabila kita hendak mendekonstruksi unsur intrinsik sebuah karya sastra selain tokoh.
Yang ingin penulis sampaikan dalam kaitan dekonstruksi dengan kehidupan nyata yakni persoalan paradigma awam terhadap seorang tokoh. Banyak hal yang dapat digali dari pembentukan karakter oleh masyarakat melalui media. Namun, penggunaan dekonstruksi untuk pencitraan atas diri seseorang yang telanjur distigmakan negatif membutuhkan waktu yang sangat panjang. Dalam realitas yang ada, paradigma tersebut berlangsung dalam hitungan puluhan tahun. Contoh misalnya, siapa yang tak kenal Anton Medan, siapa yang tidak tahu Bob Hasan. Keduanya sama-sama pernah menikmati ganasnya penjara di Pulau Nusakambangan karena kasus kriminalitas. Saat ini tampaknya dengan “meminjam” teori dekonstruksi keduanya dapat dipulihkan dari stigma negatif bahwasanya si Anton Medan seorang yang sangat kejam sementara si Bob Hasan sang koruptor lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena pembalikan fakta-fakta. Barangkali inilah kaitan antara sastra dengan dunia nyata serta sebaliknya. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti si Gayus Tambunan akan tampil menjadi sosok yang dipuji-puja setelah melewati kurun waktu yang sangat panjang karena ulahnya mengorupsi pajak rakyat.
Di Indonesia dekonstruksi terhadap karya sastra masih relatif obyek kajian yang baru. Di beberapa perguruan tinggi aliran ini telah memiliki basis kepakaran yang kuat, seperti di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Dalam kertas kerja yang dibuat oleh Derrida dikatakan bahwa latar belakang munculnya teori dekonstruksi ini sebenarnya untuk memperkecil kekuasaan strukturalisme. Strukturalisme memandang sebuah karya sastra hanya pada aspek yang membentuknya, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam strukturalisme karya sastra meliputi tema, amanat, tokoh dan penokohan, latar, dan alur. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi sudut pandang penulis. Sudut pandang pembaca tidak disertakan yang hal itu merupakan porsi terbanyak dari teori dekonstruksi. Dalam teori dekonstruksi dikenal istilah diseminasi yaitu pembongkaran sistem bahasa diubah menjadi sebuah penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Sekali lagi, makna tidak berpihak kemana-mana. Ketika kita memberi makna atas sebuah karya sastra prosa, maka makna tersebut tidak dapat ditentukan sepenuhnya atau seutuhnya dari sebuah tanda. Oleh karena itu, sebuah teks sastra menurut dekonstruksi tidaklah bersifat monomakna, tetapi polimakna.
Perkembangan teori sastra telah mencapai pada tahap teori kontemporer dengan munculnya salah satu teori sastra yang disebut dekonstruksi. Dekonstruksi dipelopori oleh Jacques Derrida. Derrida muncul sebagai seorang pemikir karena ketekunannya membaca dan mempelajari berbagai bidang seperti sains, sosial, etik, politik, estetik, psikoanalisis dan sangat menguasai bidang ilmu sastra. Aliran dekonstruksi ini menurut sebagian besar pakar bidang sastra sangat cocok diaplikasikan pada novel-novel kontemporer. Pada skala dunia sastra di Indonesia, novel-novel kontemporer tersebut seperti karya-karya Danarto. Apabila kita membaca karya-karya Danarto seperti kumpulan cerpen Gergasi kita juga dapat mendekonstruksi unsur intrinsik tidak hanya pada persoalan tokoh. Cerpen-cerpen Danarto dapat juga didekonstruksi terutama menyangkut latar cerita yang tiba-tiba saja berganti dan seolah tidak dapat dirasionalisasi begitu saja. Memang dibutuhkan wawasan lebih apabila kita hendak mendekonstruksi unsur intrinsik sebuah karya sastra selain tokoh.
Yang ingin penulis sampaikan dalam kaitan dekonstruksi dengan kehidupan nyata yakni persoalan paradigma awam terhadap seorang tokoh. Banyak hal yang dapat digali dari pembentukan karakter oleh masyarakat melalui media. Namun, penggunaan dekonstruksi untuk pencitraan atas diri seseorang yang telanjur distigmakan negatif membutuhkan waktu yang sangat panjang. Dalam realitas yang ada, paradigma tersebut berlangsung dalam hitungan puluhan tahun. Contoh misalnya, siapa yang tak kenal Anton Medan, siapa yang tidak tahu Bob Hasan. Keduanya sama-sama pernah menikmati ganasnya penjara di Pulau Nusakambangan karena kasus kriminalitas. Saat ini tampaknya dengan “meminjam” teori dekonstruksi keduanya dapat dipulihkan dari stigma negatif bahwasanya si Anton Medan seorang yang sangat kejam sementara si Bob Hasan sang koruptor lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena pembalikan fakta-fakta. Barangkali inilah kaitan antara sastra dengan dunia nyata serta sebaliknya. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti si Gayus Tambunan akan tampil menjadi sosok yang dipuji-puja setelah melewati kurun waktu yang sangat panjang karena ulahnya mengorupsi pajak rakyat.
Di Indonesia dekonstruksi terhadap karya sastra masih relatif obyek kajian yang baru. Di beberapa perguruan tinggi aliran ini telah memiliki basis kepakaran yang kuat, seperti di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Dalam kertas kerja yang dibuat oleh Derrida dikatakan bahwa latar belakang munculnya teori dekonstruksi ini sebenarnya untuk memperkecil kekuasaan strukturalisme. Strukturalisme memandang sebuah karya sastra hanya pada aspek yang membentuknya, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam strukturalisme karya sastra meliputi tema, amanat, tokoh dan penokohan, latar, dan alur. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi sudut pandang penulis. Sudut pandang pembaca tidak disertakan yang hal itu merupakan porsi terbanyak dari teori dekonstruksi. Dalam teori dekonstruksi dikenal istilah diseminasi yaitu pembongkaran sistem bahasa diubah menjadi sebuah penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Sekali lagi, makna tidak berpihak kemana-mana. Ketika kita memberi makna atas sebuah karya sastra prosa, maka makna tersebut tidak dapat ditentukan sepenuhnya atau seutuhnya dari sebuah tanda. Oleh karena itu, sebuah teks sastra menurut dekonstruksi tidaklah bersifat monomakna, tetapi polimakna.
0 komentar :
Terimakasih sudah mau berkunjung ke mari...dan jangan lupa bisa juga anda mengunjungi website dibawah ini !!!
http://syifa.vv.si/
http://sman1seulimeum.grn.cc
http://masyittah.0zed.com/
http://www.sman1seulimeum.fii.me/
http://syifa.0zed.com/
http://masyittah.bugs3.com/
http://masyittah.p.ht/
http://masyittah.3owl.com/
http://labuhanhaji.yzi.me/
http://sman1seulimeum.0fees.net/
http://sigli.3owl.com/
http://kpbaru.3owl.com/
http://lembahbaru.3owl.com/
http://www.downloadgamegratis.vv.si/
http://samratulasysyifa.blogspot.com/
http://arphanet.wordpress.com/
http://sman1seulimeumblog.wordpress.com/
http://www.syifa.asli.ws/
Terimakasih