TANPA terasa waktu berlalu begitu cepat, hingga
bulan istimewa yang penuh kemuliaan, barakah, dan ampunan hadir kembali
menemui kita di tahun ini. Puasa di bulan Ramadhan pada dasarnya bukan
hanya sebagai momentum pencerdasan individu pada aspek intelektual dan
spiritual, tetapi juga pencerdasan diri pada aspek emosional dan sosial.
Salah satunya adalah terkait dengan penguatan hubungan silaturahmi
antarsesama manusia (hablum minannas).
Seandainya mau merenung dan menghitung-hitung, dalam konteks pergaulan keseharian kita bersama orang lain selama ini pasti tidak pernah terlepas dari adanya konflik. Konflik yang terjadi tentu didorong oleh faktor yang bermacam-macam, baik politik, ekonomi, sosial, pemahaman keagamaan dan lain-lain. Polanya juga beragam, mulai dari hal-hal yang rumit seperti persaingan memperebutkan posisi/jabatan tertentu dalam konteks dunia kerja, perbedaan dalam memahami ajaran agama, sampai pada hal-hal yang sederhana seperti menyinggung perasaan tetangga atau teman sejawat. Ujung-ujungnya, bisa jadi kemudian dari konflik tersebut muncul perseteruan atau bahkan permusuhan.
Konflik-konflik sedemikian rupa adalah hal yang sangat wajar terjadi. Namun demikian, kewajaran yang dimaksud tentu menjadi sangat tidak wajar apabila selalu dipelihara atau malah diabadikan. Dalam konteks ini, Rasulullah saw mengajarkan kemuliaan memberikan maaf kepada saudara kita yang khilaf. Abu Ayyub al-Anshari ra berkata, Rasulullah saw bersabda,”Tidak halal bagi seorang muslim untuk memusuhi saudaranya sesama muslim. Apabila bertemu, saling memalingkan muka, dan sebaik-baik keduanya adalah yang mendahului memberi salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sejarah Islam mencatat betapa Rasulullah saw adalah sosok pemersatu yang sangat toleran dengan perbedaan bahkan terhadap umat di luar Islam sekalipun. Beliau menegaskan bahwa nilai dan ajaran-ajaran yang dibawa Islam adalah berorientasi pada kebaikan, kemaslahatan, dan bertujuan menjadi rahmat bagi seluruh mahkluk di bumi ini (rahmatan lil ‘alamin). Ini pula yang diwasiatkan oleh Beliau agar senantiasa dikedepankan sebagai pemersatu umat Islam seluruhnya hingga akhir zaman nanti.
Namun demikian, sejarah mencatat betapa rapuhnya persatuan dan kesatuan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah saw. Tragedi pengafiran (takfir) antara satu golongan dengan golongan yang lain dalam teologi Islam, perseteruan berdarah antara Dinasti Abbasiyah dengan Muawiyah, sampai terjadinya perang saudara antara kaum Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan Syiah (Syi’i) yang masih ada hingga detik ini (seperti di Suriah, Lebanon, Irak, Sampang/ Madura, dan sebagainya) menjadikan kekuatan dan persatuan Islam tercabik-cabik. Kepentingan politik kemudian lebih mengemuka dibanding nilai-nilai silaturahmi yang ditekankan Rasulullah saw. Padahal, jauh-jauh hari Rasulullah saw berpesan dalam beberapa hadis sahih terkait signifikannya nilai silaturahmi ini. Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian saling benci-membenci dan jangan hasut menghasut, serta jangan saling belakang-membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim memboikot/memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis sahih yang lain Rasulullah saw mengingatkan sebuah ancaman keras bahwa memutuskan tali silaturahmi akan menjadi penghalang masuknya seseorang ke dalam surga. Jubayr bin Mut’im berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan pesan mulia yang disampaikan Rasulullah saw di atas, sudah selayaknya umat Islam menjadikan momentum puasa, di bulan Ramadhan yang mulia ini, sebagai ‘kawah candradimuka’ dalam hal mengasah kecerdasan emosional dan sosial. Sudah seharusnya puasa menjadikan kesadaran kita untuk menjalin tali silaturahmi atas dasar nilai-nilai moral spiritual Islam dikedepankan, di atas unsur-unsur primordialisme atau kepentingan-kepentingan duniawi.
Kita harus sama-sama belajar untuk bisa mengakui kekhilafan dan kesatria untuk meminta maaf serta terbuka memberikan maaf. Hanya dengan jalinan silaturahmi yang kuat maka eksistensi umat Islam akan menjadi kekuatan yang disegani baik di masa kini maupun masa-masa yang akan datang. Sebuah kekuatan yang benar-benar akan membuktikan slogan rahmatan lil ‘alamin.
Seandainya mau merenung dan menghitung-hitung, dalam konteks pergaulan keseharian kita bersama orang lain selama ini pasti tidak pernah terlepas dari adanya konflik. Konflik yang terjadi tentu didorong oleh faktor yang bermacam-macam, baik politik, ekonomi, sosial, pemahaman keagamaan dan lain-lain. Polanya juga beragam, mulai dari hal-hal yang rumit seperti persaingan memperebutkan posisi/jabatan tertentu dalam konteks dunia kerja, perbedaan dalam memahami ajaran agama, sampai pada hal-hal yang sederhana seperti menyinggung perasaan tetangga atau teman sejawat. Ujung-ujungnya, bisa jadi kemudian dari konflik tersebut muncul perseteruan atau bahkan permusuhan.
Konflik-konflik sedemikian rupa adalah hal yang sangat wajar terjadi. Namun demikian, kewajaran yang dimaksud tentu menjadi sangat tidak wajar apabila selalu dipelihara atau malah diabadikan. Dalam konteks ini, Rasulullah saw mengajarkan kemuliaan memberikan maaf kepada saudara kita yang khilaf. Abu Ayyub al-Anshari ra berkata, Rasulullah saw bersabda,”Tidak halal bagi seorang muslim untuk memusuhi saudaranya sesama muslim. Apabila bertemu, saling memalingkan muka, dan sebaik-baik keduanya adalah yang mendahului memberi salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sejarah Islam mencatat betapa Rasulullah saw adalah sosok pemersatu yang sangat toleran dengan perbedaan bahkan terhadap umat di luar Islam sekalipun. Beliau menegaskan bahwa nilai dan ajaran-ajaran yang dibawa Islam adalah berorientasi pada kebaikan, kemaslahatan, dan bertujuan menjadi rahmat bagi seluruh mahkluk di bumi ini (rahmatan lil ‘alamin). Ini pula yang diwasiatkan oleh Beliau agar senantiasa dikedepankan sebagai pemersatu umat Islam seluruhnya hingga akhir zaman nanti.
Namun demikian, sejarah mencatat betapa rapuhnya persatuan dan kesatuan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah saw. Tragedi pengafiran (takfir) antara satu golongan dengan golongan yang lain dalam teologi Islam, perseteruan berdarah antara Dinasti Abbasiyah dengan Muawiyah, sampai terjadinya perang saudara antara kaum Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan Syiah (Syi’i) yang masih ada hingga detik ini (seperti di Suriah, Lebanon, Irak, Sampang/ Madura, dan sebagainya) menjadikan kekuatan dan persatuan Islam tercabik-cabik. Kepentingan politik kemudian lebih mengemuka dibanding nilai-nilai silaturahmi yang ditekankan Rasulullah saw. Padahal, jauh-jauh hari Rasulullah saw berpesan dalam beberapa hadis sahih terkait signifikannya nilai silaturahmi ini. Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian saling benci-membenci dan jangan hasut menghasut, serta jangan saling belakang-membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim memboikot/memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis sahih yang lain Rasulullah saw mengingatkan sebuah ancaman keras bahwa memutuskan tali silaturahmi akan menjadi penghalang masuknya seseorang ke dalam surga. Jubayr bin Mut’im berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan pesan mulia yang disampaikan Rasulullah saw di atas, sudah selayaknya umat Islam menjadikan momentum puasa, di bulan Ramadhan yang mulia ini, sebagai ‘kawah candradimuka’ dalam hal mengasah kecerdasan emosional dan sosial. Sudah seharusnya puasa menjadikan kesadaran kita untuk menjalin tali silaturahmi atas dasar nilai-nilai moral spiritual Islam dikedepankan, di atas unsur-unsur primordialisme atau kepentingan-kepentingan duniawi.
Kita harus sama-sama belajar untuk bisa mengakui kekhilafan dan kesatria untuk meminta maaf serta terbuka memberikan maaf. Hanya dengan jalinan silaturahmi yang kuat maka eksistensi umat Islam akan menjadi kekuatan yang disegani baik di masa kini maupun masa-masa yang akan datang. Sebuah kekuatan yang benar-benar akan membuktikan slogan rahmatan lil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mau berkunjung ke mari...dan jangan lupa bisa juga anda mengunjungi website dibawah ini !!!
http://syifa.vv.si/
http://sman1seulimeum.grn.cc
http://masyittah.0zed.com/
http://www.sman1seulimeum.fii.me/
http://syifa.0zed.com/
http://masyittah.bugs3.com/
http://masyittah.p.ht/
http://masyittah.3owl.com/
http://labuhanhaji.yzi.me/
http://sman1seulimeum.0fees.net/
http://sigli.3owl.com/
http://kpbaru.3owl.com/
http://lembahbaru.3owl.com/
http://www.downloadgamegratis.vv.si/
http://samratulasysyifa.blogspot.com/
http://arphanet.wordpress.com/
http://sman1seulimeumblog.wordpress.com/
http://www.syifa.asli.ws/
Terimakasih