BERDASARKAN UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, subyek hukum gratifikasi adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Gratifikasi dilakukan bersama pihak ketiga (di
luar pemerintahan) untuk tujuan tertentu, termasuk di dalamnya menerima
atau melakukan pelayanan seksual. Gratifikasi seksual termasuk kejahatan
terorganisir dengan rapi dan terselubung (the dark number of crime).
Gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran HAM dan pengkhianatan kepercayaan yang dilakukan oleh penyelenggara negara terhadap jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Walaupun secara empirik belum ada data yang akurat tentang ini, namun jika dilihat berbagai sumber yang mempublikasikan masalah gratifikasi seks kemungkinan terbesar banyak terjadi.
Regulasi gratifikasi
Penjelasan Pasal 12B UU tersebut menyebutkan, gratifikasi dapat diartikan sebagai Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Nah, yang menarik ada bentuk lain dari gratifikasi yaitu gratifikasi seks yaitu berupa pelayanan seksual yang diberikan kepada pejabat negara. Jika melihat dari pengertiannya maka gratifikasi seksual merupakan bentuk pemberian fasilitas lainnya.
Sedangkan dalam Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan bahwa yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Ayat (2), pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ketentuan Pasal 12C Ayat (1) menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Ayat (2) menyatakan, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Melihat ketentuan di atas bermakna bahwa gratifikasi bukan merupakan perbuatan pidana, dikatakan gratifikasi apabila kegiatan tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan di atas tidak mencantumkannya mengenai pemberi gratifikasi. Padahal pemberi gratifikasi dan penerima gratifikasi dapat dikategorikan sebagai pesuap aktif dan pesuap pasif.
Menurut Yenti Ganarsih (Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang) mengatakan bahwa harus ada tiga unsur pelaku gratikasi seksual yaitu, orang yang memberi gratifikasi, pejabat yang disuap dan pelayan seksualnya sendiri. Biasanya, pelaku prostitusi dalam perkara ini tidak pernah tersentuh (Koran Sindo, 9/1/2013).
Gratifikasi seks mempunyai tujuan sebagai bentuk pelayanan untuk memuluskan berbagai proyek tender pengadaan barang dan jasa atau untuk menpengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat oleh aparatur negara yang berwenang. Mencuatnya isu gratifikasi seksual ke hadapan publik karena masyarakat sudah jenuh dan kecenderungan untuk pemberantasan segala bentuk praktik-praktik korup.
Berbeda dengan negara Singapura yang sudah memberlakukan gratifikasi seksual sebagai bentuk aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, di Indonesia, gratifikasi seksual hanya menjadi konsumsi diskusi semata. Maka untuk itu peran DPR sebagai badan legislasi bersama-sama pemerintah perlu merancang dan memasukkan aturan mengenai gratifikasi seksual sebagai produk hukum agar moral penyelenggara negara bangsa ini tidak semakin terpuruk.
Berkaca pada Singapura
Pembuktian gratifikasi seksual tergolong sulit karena bersifat tertutup dan dilakukan oleh golongan elite. Namun, negara Singapura terbukti telah mampu memproses gratifikasi seks ke meja hijau. Sebut saja misalnya mantan Direktur Biro Narkotika Pusat (CNB) Singapura Ng Boon Gay diseret ke pengadilan dengan dakwaan menerima suap seks dari seorang wanita, karyawati perusahan rekanan yang kerap memenangkan tender. Ng Boon Gay ditangkap pada 19 Desember 2011 lalu dan dijerat dengan UU Antikorupsi (detikNews, 5/10/2012).
Begitu juga halnya mantan pejabat pertahanan Singapura juga terjerat skandal korupsi serta gratifikasi seksual. Eks komandan Angkatan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF), Peter Lim menerima imbalan jasa seks dari 3 wanita yang menjadi rekanannya. Otoritas Singapura mengategorikan kasus ini sebagai gratifikasi. Karena semasa menjabat, Lim mendapatkan pelayanan seks dari wanita-wanita tersebut sebagai imbalan atas kontrak proyek teknologi informasi yang didapatkan oleh perusahaan wanita-wanita tersebut.
Juru bicara Agensi Antikorupsi Singapura menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan dalam rentang waktu antara Mei 2010 hingga November 2011, kemudian Lim ditangkap oleh Biro Investigasi Korupsi Singapura pada Januari dan diberhentikan dari jabatannya pada Februari 2012. Kasus yang menjerat Lim ini dianggap sebagai kasus korupsi paling parah yang melibatkan pejabat tinggi Singapura sejak 1993 lalu (detikNews, 6/6/2012).
Selanjutnya media massa di Singapura memberitakan berita sidang perkara korupsi Profesor hukum di National University of Singapore (NUS), Tey Tsun Hung. Profesor ini didakwa menerima gratifikasi seks dari mantan mahasiswanya Darinne Ko Wen Hui (Kompas, 19/1/2013). Melihat penegakan hukum terhadap penyelenggara negara yang dilakukan oleh Singapura, perlu kiranya Indonesia mencontoh model penegakan hukum tersebut.
Berbeda dengan gaya penegakan hukum yang dipraktikkan di Indonesia, walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka, sang pejabat belum rela untuk melepaskan jabatannya. Bandingkan dengan Jepang, Perancis, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, baru terdengar akan ditetapkan sebagai tersangka terhadap suatu tindak pidana, maka budaya mundur mereka lebih baik. Agar proses hukum dapat dijalani secara maksimal.
Maka tak salah jika Direktur Pengembangan Jaringan dan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJ KAKI KPK), Sujanarko, mengindikasikan bahwa praktik gratifikasi seksual marak terjadi dalam hal permainan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh para kepala daerah. Uang tersebut digunakan untuk memuluskan dan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh setiap kepala daerah.
Walaupun di Indonesia tidak mengenal istilah gratifikasi seksual, tapi untuk menghindari kebocoran uang rakyat yang digunakan untuk hal-hal bertentangan dengan hukum, maka selayaknya gratifikasi di formalisasikan dalam bentuk UU atau setidaknya adanya penambahan pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, supaya gratifikasi seks dapat diminimalisir. Budaya malu dan selalu bersyukur semoga bisa menjadi pintu penghalang masuknya dorongan untuk tidak melakukan gratifikasi seks. Semoga!
Gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran HAM dan pengkhianatan kepercayaan yang dilakukan oleh penyelenggara negara terhadap jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Walaupun secara empirik belum ada data yang akurat tentang ini, namun jika dilihat berbagai sumber yang mempublikasikan masalah gratifikasi seks kemungkinan terbesar banyak terjadi.
Regulasi gratifikasi
Penjelasan Pasal 12B UU tersebut menyebutkan, gratifikasi dapat diartikan sebagai Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Nah, yang menarik ada bentuk lain dari gratifikasi yaitu gratifikasi seks yaitu berupa pelayanan seksual yang diberikan kepada pejabat negara. Jika melihat dari pengertiannya maka gratifikasi seksual merupakan bentuk pemberian fasilitas lainnya.
Sedangkan dalam Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan bahwa yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Ayat (2), pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ketentuan Pasal 12C Ayat (1) menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Ayat (2) menyatakan, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Melihat ketentuan di atas bermakna bahwa gratifikasi bukan merupakan perbuatan pidana, dikatakan gratifikasi apabila kegiatan tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan di atas tidak mencantumkannya mengenai pemberi gratifikasi. Padahal pemberi gratifikasi dan penerima gratifikasi dapat dikategorikan sebagai pesuap aktif dan pesuap pasif.
Menurut Yenti Ganarsih (Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang) mengatakan bahwa harus ada tiga unsur pelaku gratikasi seksual yaitu, orang yang memberi gratifikasi, pejabat yang disuap dan pelayan seksualnya sendiri. Biasanya, pelaku prostitusi dalam perkara ini tidak pernah tersentuh (Koran Sindo, 9/1/2013).
Gratifikasi seks mempunyai tujuan sebagai bentuk pelayanan untuk memuluskan berbagai proyek tender pengadaan barang dan jasa atau untuk menpengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat oleh aparatur negara yang berwenang. Mencuatnya isu gratifikasi seksual ke hadapan publik karena masyarakat sudah jenuh dan kecenderungan untuk pemberantasan segala bentuk praktik-praktik korup.
Berbeda dengan negara Singapura yang sudah memberlakukan gratifikasi seksual sebagai bentuk aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, di Indonesia, gratifikasi seksual hanya menjadi konsumsi diskusi semata. Maka untuk itu peran DPR sebagai badan legislasi bersama-sama pemerintah perlu merancang dan memasukkan aturan mengenai gratifikasi seksual sebagai produk hukum agar moral penyelenggara negara bangsa ini tidak semakin terpuruk.
Berkaca pada Singapura
Pembuktian gratifikasi seksual tergolong sulit karena bersifat tertutup dan dilakukan oleh golongan elite. Namun, negara Singapura terbukti telah mampu memproses gratifikasi seks ke meja hijau. Sebut saja misalnya mantan Direktur Biro Narkotika Pusat (CNB) Singapura Ng Boon Gay diseret ke pengadilan dengan dakwaan menerima suap seks dari seorang wanita, karyawati perusahan rekanan yang kerap memenangkan tender. Ng Boon Gay ditangkap pada 19 Desember 2011 lalu dan dijerat dengan UU Antikorupsi (detikNews, 5/10/2012).
Begitu juga halnya mantan pejabat pertahanan Singapura juga terjerat skandal korupsi serta gratifikasi seksual. Eks komandan Angkatan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF), Peter Lim menerima imbalan jasa seks dari 3 wanita yang menjadi rekanannya. Otoritas Singapura mengategorikan kasus ini sebagai gratifikasi. Karena semasa menjabat, Lim mendapatkan pelayanan seks dari wanita-wanita tersebut sebagai imbalan atas kontrak proyek teknologi informasi yang didapatkan oleh perusahaan wanita-wanita tersebut.
Juru bicara Agensi Antikorupsi Singapura menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan dalam rentang waktu antara Mei 2010 hingga November 2011, kemudian Lim ditangkap oleh Biro Investigasi Korupsi Singapura pada Januari dan diberhentikan dari jabatannya pada Februari 2012. Kasus yang menjerat Lim ini dianggap sebagai kasus korupsi paling parah yang melibatkan pejabat tinggi Singapura sejak 1993 lalu (detikNews, 6/6/2012).
Selanjutnya media massa di Singapura memberitakan berita sidang perkara korupsi Profesor hukum di National University of Singapore (NUS), Tey Tsun Hung. Profesor ini didakwa menerima gratifikasi seks dari mantan mahasiswanya Darinne Ko Wen Hui (Kompas, 19/1/2013). Melihat penegakan hukum terhadap penyelenggara negara yang dilakukan oleh Singapura, perlu kiranya Indonesia mencontoh model penegakan hukum tersebut.
Berbeda dengan gaya penegakan hukum yang dipraktikkan di Indonesia, walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka, sang pejabat belum rela untuk melepaskan jabatannya. Bandingkan dengan Jepang, Perancis, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, baru terdengar akan ditetapkan sebagai tersangka terhadap suatu tindak pidana, maka budaya mundur mereka lebih baik. Agar proses hukum dapat dijalani secara maksimal.
Maka tak salah jika Direktur Pengembangan Jaringan dan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJ KAKI KPK), Sujanarko, mengindikasikan bahwa praktik gratifikasi seksual marak terjadi dalam hal permainan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh para kepala daerah. Uang tersebut digunakan untuk memuluskan dan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh setiap kepala daerah.
Walaupun di Indonesia tidak mengenal istilah gratifikasi seksual, tapi untuk menghindari kebocoran uang rakyat yang digunakan untuk hal-hal bertentangan dengan hukum, maka selayaknya gratifikasi di formalisasikan dalam bentuk UU atau setidaknya adanya penambahan pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, supaya gratifikasi seks dapat diminimalisir. Budaya malu dan selalu bersyukur semoga bisa menjadi pintu penghalang masuknya dorongan untuk tidak melakukan gratifikasi seks. Semoga!
0 komentar :
Terimakasih sudah mau berkunjung ke mari...dan jangan lupa bisa juga anda mengunjungi website dibawah ini !!!
http://syifa.vv.si/
http://sman1seulimeum.grn.cc
http://masyittah.0zed.com/
http://www.sman1seulimeum.fii.me/
http://syifa.0zed.com/
http://masyittah.bugs3.com/
http://masyittah.p.ht/
http://masyittah.3owl.com/
http://labuhanhaji.yzi.me/
http://sman1seulimeum.0fees.net/
http://sigli.3owl.com/
http://kpbaru.3owl.com/
http://lembahbaru.3owl.com/
http://www.downloadgamegratis.vv.si/
http://samratulasysyifa.blogspot.com/
http://arphanet.wordpress.com/
http://sman1seulimeumblog.wordpress.com/
http://www.syifa.asli.ws/
Terimakasih